
Nyawang.com – Pernahkah anda mendengar nama daerah Wae Rebo? Jika belum, ulasan berikut ini harus anda simak untuk mengetahui lebih dalam mengenai dari Wae Rebo.
Wae Rebo atau yang dijuluki sebagai ”desa di atas awan” merupakan desa tradisional yang berada di Kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Desa Wae Rebo terletak di ketinggian 1.200 mdpl, desa ini dikelilingi beberapa bukit yang berjajar seperti memagari desa sehingga terkesan bahwa desa ini terisolasi.
Meskipun terkesan terisolasi namun justru banyak wisatawan yang rela melancong jauh-jauh untuk menikmati keindahan setiap sudut Desa Adat Wae Rebo.
Dilansir dari laman indonesia.travel, Masyarakat di Desa Wae Rebo ternyata masih memiliki garis keturunan dari Suku Minangkabau. Konon dulu, ada warga asli Minangkabau bernama Empo Maro berlayar dari Pulau Sumatera hingga ke Labuan bajo. Setelah hidup berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain sebelum akhirnya memutuskan untuk bermukim di Desa Wae Rebo.
Untuk diketahui, desa ini hanya memiliki 7 rumah adat berbentuk lumbung kerucut yang disebut Mbaru Niang. Nah, Inilah yang menjadi ikon utama Wae Rebo.
Rumah adat Mbaru Niang tersusun mengitari batu melingkar yang dinamakan compang sebagai titik pusatnya. Compang yang memiliki arti pusat aktivitas warga untuk mendekatkan diri dengan alam, leluhur, dan Tuhan.
Rumah adat Mbaru Niang mengandung filosofi dan mencerminkan kehidupan sosial masyarakat Wae Rebo. Rumah ini merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial Suku Manggarai.
Suku Manggarai meyakini lingkaran sebagai simbol keseimbangan, sehingga pola lingkaran ini diterapkan hampir di seluruh wujud fisik desa, dari bentuk kampung sampai rumah-rumahnya.
Rumah adat Mbaru Niang memiliki 5 lantai dengan atap daun lontar dan juga ditutupi oleh ijuk. Pada setiap lantainya mempunyai fungsi masing-masing, seperti tempat untuk berkumpul, menyimpan bahan makanan, untuk beribadah, dan peruntukan lainnya.
Prinsip leluhur juga diterapkan di rumah ini yaitu tidak boleh menyentuh tanah. Bentuk bangunannyapun masih masih memiliki unsur Minangkabau, bisa dilihat Niang Dangka atau atap Mbaru Niang, yakni bertanduk rangkap dua yang dijadikan satu.
Desa Wae Rebo tidak hanya memiliki keindahan arsitekturnya yang unik dan alamnya saja. Kehidupan sosial warganya juga menjadi daya tarik tersendiri.
Desa unik ini ditinggali oleh 44 keluarga dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Warga di daerah ini menanam kopi, cengkih, dan umbi-umbian. Para wanita di Desa Adat Wae Rebo, selain memasak, mengasuh anak, menenun, juga membantu kaum pria di kebun.
Untuk air bersih untuk sehari-hari, warga di Desa ini memanfaatkan mata air yang bersal dari pegunungan. Sumber air itu dinamakan sosor yang dibagi menjadi 2 yakni sosor pria dan sosor wanita.
Keunikan dan keindahan Desa Adat Wae Rebo memang otomatis menjadi daya tarik tersendiri dan menghasilkan sebuah penilaian positif di mata dunia, baik dari segi pariwisata maupun budaya. Karenanya Wae Rebo secara resmi diakui sebagai warisan budaya dunia pada tahun 2021 silam. Pengakuan ini juga disebabkan rumah adat Mbaru Niang di desa Wae Rebo dinilai sangat langka.
Karena keunikan yang dimilikinya menjadikan desa ini sebagai salah satu lokasi Konservasi Warisan Budaya UNESCO. Selain itu, pada tahun 2013 Desa Wisata Wae Rebo juga mendapat penghargaan dari Aga Khan dalam industri arsitektur.
Dan pada tahun 2021 lalu, desa Wae Rebo menjadi salah satu dari 3 desa yang mewakili Indonesia dalam ajang Best Tourism Village atau penganugerahan desa wisata terbaik di dunia yang diselenggarakan oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO) atau badan PBB yang khusus menangani pariwisata.